SAJAK-SAJAK NANANG SURYADI

ENGKAU YANG MENATAP

 

IN MEMORIUM

melambaikan senja padamu.
bersama air mata yang terasa asin di bibir.
mata yang berkaca. melewati jendela
menatap kematian
dengan begitu bersahaja.

amboi, langkah ini hendak menuju ke mana.
selain menjejak pada kemungkinan hari-hari penuh kegelisahan,
kehampaan dan kesunyian diri sendiri.
meraba kegelapan yang melumuri isi kepala.

kereta warna hitam yang kau sorongkan melewati pelataran. yang begitu lengang. tawarkan sebuah kenangan di masa lalu.
ketika kehidupan baru di hembuskan ke dalam dadamu...

bikin perjanjian untuk kembali pada asal mulamu, anak manusia.

sepertinya tak ada yang patut ditangiskan.
selain mengaca pada hari yang penuh warna dan cerita penuh deru di masa lalu.

(Tuhan, aku hantarkan doa melewati senja ini)

 

AKU YANG MERINDU, SIAPA TAHU?

serupa lonceng berdentang
di tangan poe, atau yono wardito

ia menarik-narik tangan kakiku
hendak menari. hendak menari

mungkin ia semacam kerinduan
begitu asing, melekat pada kaca jendela

neng-neng-neng-neng
neng-neng-neng-neng

semacam dentangan lonceng,
di tangan siapa kau tahu?

aku yang merindu, siapa tahu

malang, 26 mei, 1999

 

WAHAI ENGKAU YANG MENATAP

Seorang manusia mencari jalan hidupnya
Memetakan langit
Mencari jawab: siapakah aku, siapakah engkau?

Wajah pada bayang-bayang membusur
Dari masa lalu sebuah kesaksian
Begitu samar
Antara hari berselang

Sebuah tatapan, tak pernah gugur
Menyentuh kedalaman
Rongga dada

Berbisiklah, berbisik, manusia yang mencari jawab:
"Engkau yang begitu samar dalam ingatan
kusapa dalam doa,
juga dosa"

begitu lindap

Malang, 15 Oktober 1998

 

MATA KESUNYIAN

Pada mata, sebuah dunia kutemukan, jalinan cerita
Manusia hidup dengan kesendiriannya
Di tengah riuh gemuruh

Kesunyian di mana batasnya
Dari kelam hitam mata
Seribu tikaman terasa menyentuh jantungku

Malang, 15 Oktober 1998

 

SANG PENGAWAS AGUNG

Ada yang begitu seksama memperhatikan segala tindak-tanduk, gemetaranlah
aku menghitung detik-detik perhitungan yang muncul di pelupuk mata,
menelanjangiku dengan sangat polos dan bugil, memeriksa bulu demi bulu,
daki demi daki yang menempel, pada tangan, pada kaki, sedang mulut
dibiarkan diam; dengan begitu bening dan jujur: mereka menjadi saksi
sebuah pengkhianatan...


Malang, Juli 1997

RASA BERSYUKUR

Tuhan,
bibirku yang gemetar
menyebutmu

ucapkan syukur
tiada habis-habisnya
terlimpah kenikmatan

kukecap kasih sayang-Mu
dengan segala cinta

kureguk kasih-Mu
kureguk sayang-Mu
kureguk cinta-Mu

Tuhan,
gemetaran aku mengingat-Mu
wahai, Pemilik Cinta Sejati

Banyuwangi, 09-09-1997


TATAPAN YANG BEGITU TAJAM

begitu tajam,
begitu tajam tatapan-Mu,
menghunjam ke dalam lubuk hatiku

"Siapakah yang akan mendengarkan keluhku lagi,
selain Engkau wahai...."

aku tertunduk
aku tertunduk
mengharap
mendamba

dan tatapanmu begitu tajam
menghunjam ke dalam kalbu


Banyuwangi, 09-09-1997


TATAPAN YANG BEGITU LEMBUT

begitu lembut.
begitu lembut tatapan-Mu
menyiram sejuk ke dalam batinku

segala gundah
segala amarah
punah

menjelma cinta
menjelma cinta
ingin kubalas tatapan-Mu

tapi aku sekedar hamba

tak sanggup aku
tak sanggup aku

wahai,
aku tertunduk malu,
atas segala pengkhianatanku

Banyuwangi, 09-09-1997



ADA YANG MEMBERI ISYARAT

isyarat apa yang disampaikan, kepada seseorang ---yang bercampur baur
perasaannya--- mendengar sesuatu tentang maut?

sepertinya orang sering pula bercerita, tentang orang yang menjerit
histeris, atau uban satu-satu yang tumbuh di kepala, atau raut muka yang
kerut merut, atau tubuh kekar dan gagah, lalu : mati

ada yang memberiku isyarat dari balik jendela, seperti dalam mimpi,
menyelinap dan mengendap, mengajak seseorang untuk pergi: entah
kemana.....


Malang, Juli 1997

 

MENYAPAMU

aku menyapamu dalam mimpi yang mengembun,
pada subuh yang sebentar kan merekah,

cuma sepi dan rasa nyeri yang dibisikkan,
menanti matahari, mungkin akan pecah dalam kepala,

betapa panasnya, bergolak ini benak kepala,
juga dalam dada....

sepertinya telah habis semua kuceritakan,
tiada lagi rahasia,

diriku tegak telanjang,
di hadapan-Mu

Cilegon, 22 Januari 1997

 

MENCATAT NAMAMU

Dalam hati masih ada kegundahan itu
Secara perlahan membakar angan

Dalam sunyi mengingat wajahmu,
berderai potret pecah
terbanting tangan-tangan waktu

Begitu kukuh memisahkan kekinianku
dengan cerita dulu

Engkaukah itu,
yang bercakap dalam gemerisik angin meniup daunan.

Kabarkan sesuatu entah kebencian atau kecintaan?

Berayun angan menari
dalam jagat semesta pertanyaan

Begitu samar
Begitu samar

Namamu yang terbubuh
dalam kabut yang melulur keheningan.

Senduro-Pandansari, 21 Agustus 1995