Sajak Sajak Nanang Suryadi

OraNg SeNdiRi

 

REPORTOAR BUKU HARIAN

telah berapa kesah yang tertumpah. tinta merah atau hitam. dalam hidupmu yang bercerita apa. selain cinta yang sukar dipahami. dan juga hidup penuh gelisah yang memburu. karena peristiwa demi peristiwa menjelma di depan mata. tak perlu teori, katamu pasti. ah, mana lagi yang pasti buatmu. segalanya kau ragui. bahkan dirimu sendiri. kau tak percaya dirimu sendiri ada. menjalani hidup dan berjalan di muka bumi.

katamu: "siapa bilang bumi bulat? tidakkah ia kotak, kerucut, prisma atau benjol-benjol?"

cilegon, 1997

 

KESUNYIAN MILIK PENYAIR

sepertinya,
hanya mimpi yang kusimpan di sini
dalam benak yang selalu bertanya

adakah aku sebagai ilalang?
bergoyang tertiup angin semilir
atau tertidur rebah memeluk bumi yang kucinta
ketika angin prahara tiba

adakah aku sebagai angin?
bergerak ke segala arah
menghamburkan cerita pada bumi dan cakrawala

berjuta serpihan tanya kuhamburkan ke cakrawala
jatuh ke bumi juga akhirnya,
berserak tangis, tawa, cinta dan kemarahan,
menjelma cerita,

apa yang kau kira kini?
kubawakan cerita padamu,
sebagai kesunyian dalam dadaku,
sepertinya...

hanya kesunyian milik para penyair,
dari waktu ke waktu,
merangkai kata
dari kedalaman kegelisahan yang memburu

ke mana pergimu,
kesunyian menyergap,
kecemasan membekap,
berjuta tanya kau lemparkan

hanya kesunyian yang menjawab!

malang, 25 maret 1997

 

SURAT

sajak yang kutulis pada suatu ketika menjelma menjadi surat bercerita padamu sebagai kawan bercerita tentang penyair yang kehilangan kata-katanya karena kata-kata telah menjelma teror bagi siapapun, aku terkadang takut untuk menuliskan apapun dari benak kepalaku

aku tak ingin menyakiti hati siapapun,
karena ternyata seulas senyuman itu lebih menyenangkan
daripada wajah yang marah penuh kepedihan

malang, 1997

 

SANG PEJALAN

berapa panjang jalan yang disusur,
pejalan merengkuh angin,

mungkin sebuah ingin,
galau yang tersisa
dari sebuah jeda,

tanya dan jawab,
makna dari keburaman rahasia

mencari telaga,
bening mata,
lunaskan dahaga

matahari,
rembulan,
gemintang,
kegelapan,
keremangan,
waktu,
usia,
menjelma dalam pusaran
ilusi atau nyata

"sebuah takdir atau kehendak bebas?", katanya
menatap langit,
mengayun juga kakinya,
menuju "apa"

Malang, 8 Juli 1998

 

DERAI HUJAN TAK LERAI

derai hujan,
tubuhmu kuyup,
sayup mata,
isyaratkan keraguan

jalanan basah, becek dan berlumpur
"kemana pergi? kemana pergi?"

tak ada arah dituju,
hanya kabut dan putih buih hujan,
menyapa pandangan

langit begitu kelabu
"kakiku goyah, lemah, gamang melangkah"

derai hujan tak lerai;
begitu samar pandangku

Cilegon, 28 Juli 1998

 

FANTASI KENANGAN

ada yang hidup dalam bayang-bayang
selubung mimpi kelampauan
fantasi kenangan

temaram malam
tak ada cahaya rembulan atau kerdip bintang
hanya sorot mata
letikan bara; kerinduan atau kehampaan memandang?

Cilegon, 31 Juli 1998

 

SILHUET PANORAMA

dari kelampauan yang buram, tak ada tersisa airmata
diseka waktu, mungkin hanya gurau, sebuah entah

tapi bayang itu datang, mengekalkan
sunyi, barangkali milikmu, cuma

sebagai buku terbuka, atau kerdipan mata
pembacaan isyarat tanda, mungkin sebuah wacana
gerutuan lepas, namun

mimpi yang terbubuh tak niscaya menjelma, sebuah idea
(gapaian tanganmu mungkin letih ingin menjamahnya….)

terantuk pandang pada nyata, walau menari juga
segala yang mungkin ingin dikenang

Malang, 7 Agustus 1998

 

BUBYEE

"aku kan pergi dari hidupmu, janganlah menanti…"

burung mengepakkan sayapnya
terbang menuju entah,

layar dikembangkan tak tahu menuju,
mengikut kemana angin punya ingin,

"siapa punya kehendak jelmakan mimpi jadi nyata?"

karena pergulatan tak kunjung usai
karena hidup adalah pemberian tanda: pemaknaan

menjadi orang sunyi
menjadi diri sendiri
menatap sepi tak bertepi

"selamat tinggal…."

malang, 30 agustus 1998

 

KIRANYA

menyeru juga pada engkau hati yang berduka, kiranya kenangan terpateri, begitu lekat

berlari juga pada engkau keinginan memeluk, kiranya kerinduan menikam, begitu menusuk

cuma!

kehadiran,kerling bola mata, isyarat tanda

sia!

menengadah juga pada engkau sebuah harap, kiranya
sebuah ketidakpastian, begitu menakutkan

sepertinya…

malang, 30 agustus 1998

 

SOLITER

kenangan menggigilkanku sebagai kerinduan merenangi rahasia. matamu bulat kabarkan cerita: kegalauan manusia mencari diri sendiri. siapa yang bertapa di hatimu? mengisi relung sukma. terlukis serupa bianglala. menyinari serupa matahari.

mencoba memasuki bilik kesendirianmu,

aku membaca diriku: serupa udara!

 

Madiun, 1 September 1998

 

 

LAGU ORANG MABUK

 

beri seteguk lagi. lagi. dan lagi

aku ingin terus begini. melayang-layang

mabuk

dalam cintamu

 

Madiun, 1 September 1998

 

MEMANDANG LANGIT ABU-ABU

betapa kelabu itu langit. seperti cerita yang kusampaikan padamu. tak
hitam tak putih. cukup kelabu saja. karena tak ada garis di situ yang
jelas memisahkan.

dan apa sikapmu kini. akankah terus diam. memandang langit warna kelabu?

langit warna kelabu. dalam buku. dalam dada. dalam matamu. hitam putih
tersamar pudar.

Malang, 1996


CANDI BADUT ATAWA LINGGA -YONI

siapakah yang bertahta di situ.
pada kejayaan masa lalu.
dalam pertemuan lingga-yoni.
pada batu-batu.
pada relief sejarah .

hanya bunga kanthil.
hanya desir angin maghrib.
hanya lamunan kita
pahatan-pahatan pada kebisuan batu-batu.
pada raja-raja jawa.
pada yoga dan tantra.

berkecamuklah dalam deru bayangan menari.
persetubuhan lingga-yoni
menjadi mimpi-mimpi
malam hari

Malang, 1996


MEMOTRET SENJA

seorang lelaki pada senja menatapi kanak yang berlari
dilihatnya disitu ada embun dan sinar matahari pagi

pada senja cahaya matahari bikin cakrawala semburat merah
burung pulang pada sarangnya

"sebentar lagi malam"

lelaki pada senja tak tahu ada apa dibalik tabir malam
selain sekedar menduga-duga dan menerka
bagaimana ia nantinya

1995